Popular Post

Posted by : Unknown Senin, 29 Juli 2013

“THE PERSPECTIVE OF BRITISH DIASPORA  [ISLAM TANPA SYARI’AH – Ziauddin Sardar ]”
Oleh : sutihat rahayu suadhi

Islam Tanpa Syari’at [ Menggali Universitas Tradisi] Penulis Ziauddin Sardar Bersama;
PP. Muhammadiyah, NU.
British Counchil dan Muslim Institut Medan. [April, 2005]

Definisi Syariah
Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-mâ’ (sumber air minum). (Ibn al-Manzhur, Lisân al-’Arab, I/175; Fayruz al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, I/6672; Ar-Razi, Mukhtâr as-Shihâh, hlm. 294).
Dalam istilah syariah, syarî‘ah  berarti agama yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragam (Al-Qurthubi,  Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XVI/163). Karena itu, syariah dan agama mempunyai konotasi yang sama. (Ibn al-Manzhur,  Op.cit., XI/631), yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya.
Dalam pengertian syar‘i, para ulama ushul mendefinisikan syariah (syarî‘ah) sebagai perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, Asy-Syaksiyyah al-Islâmiyyah, III/31. Lihat juga: Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm; Al-Amidi, Ibid., I/70-71; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 7).
Dari definisi di atas, baik secara etimologis maupun terminologis  syar‘î, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariah adalah seluruh ajaran Islam;  baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian (An-Nabhani,  Nizhâm al-Islâm, hlm. 74; An-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm. 36).

[hal 39-41]
Dalam Al-qur’an sendiri telah secara jelas dinyatakan bahwa; pertama, tidak ada paksaan dalam agama. Anda secara absolut memiliki kebebasan dalam beragama. Kedua, Anda telah memilih untuk percaya ataupun tidak percaya dan balasan untuk hal bergantung pada Allah. Ini bukanlah sesutu yang dapat diputuskan oleh manusia. Saya tidak dapat menyatakan bahwa iman anda sekarang ini lemah dan karenanya saya akan menghukum anda ataupun saya tidak bisa menyatakan bahwa anda telah berbohong kepada islam, kemarin anda menyatakan sebgai seorang muslim dan hari ini anda mengingkarinya, maka saya akan menghukum anda. Hukuman ataupun balasan terhadap keimanannya merupakan hal internal berada ditangan tuhan, Dan sesungguhnya ini adalah yang diajarkan Al-qur’an kepada kita.

Sesungguhnya ketentuan hukum syari’ah tentang kemurtadan terfomulasi baru pada masa periode Abbasiyah ketika syari’ah diformulasikan. Disini unsur politik cukup memainkan peran. Kesalahan pada negara dianggap sebagai kesalahan kepada agama karna konsep sedagai kesatuan agama dan negara sesuai formulasi ulama pada saat itu. Ketika seseorang mengakui perkembangannya terhadap negara maka ia di cap pula sebagai pembangkang agama. Jadi negara memainkan peran untuk meminimalisasikan  pemberontakan dengan memberikan cap murtad kepada para pemberontak.

Namun pada masa kini tidak ada hubungan semacam itu. Oleh karena itu pahala ataupun hukuman merupakan otoritas tuhan. Karena kemurtadan tidak ada hubungannya dengan negara. Namun lagi-lagi praktik seperti ini di Pakistan dan Nigeria, banyak yang dituduh melakukan kemurtadan dan dihukum mati. Bagaimana persoalan ini dilihat dari prespektif seseorang yang berada dilondon ? Hal ini tentu menimbulkan citra seolah-olah islam merupakan agama  bar-bar yang memiliki ketentuan bahwa anda harus memaksa keimanan kepada seseorang dan jika ia tidak mau menerimanya atau menentangnya dia harus dibunuh.

Disini kita lihat masih dominannya ketentuan syari’ah di Masyarakat. Padahal secara jelas ketentuan ini telah kehilangan konteksnya. Ketentuan-ketentuan seperti Inilah yang kemudian membuat dan memproyeksikan presepsi yang sangat negatif tentang islam. Bahkan sesungguhnya ketentuan ini telah meremehkan kemampuan masyarakat secara keseluruhan karena jika anda tidak bisa melakukan pemikiran kritis terhadap keimanan anda, maka berarti anda tidak dapat melakukan pemikiran kritis terhadap hal lainnya. Padahal hal pertama yang dapat anda kritisi adalah diri anda sendiri dan keimanan merupakan hal yang terdekat dengan diri anda. Inilah mengapa, sampai tingkat tertentu, masyarakat muslim menjadi mastyarakat yang sangat tertutup. Dan ide-ide tentang kritisme, kritik diri, mempertanyakan kembali nilai-nilai yang dianut, kurang berkembang dikalangan masyarakat muslim. Tentu hal ini tidak bisa disalahkan kepada ajaran agama saja namun juga kepada faktor-faktor lainnya. Keseluruhan inilah yang menerangkan mengapa masyarakat muslim terus mengalami kemunduran. Jadi, bagi saya, Keseluruhan ide tentang kemurtadan, bagaimana syari’ah memandang kemurtadan merupakan penyebab kejumudan cara berfikir generasi muslim. Hanya dengan membuka kran kebebasan berfikirlah, kita akan mampu bergerak maju.

Contoh lain adalah legalisasi syari’ah. Implementasi syari’ah itu umumnya direduksi menjadi hanya terbatas pada ketentuan hukum hudud (Pidana). Seperti kasus pemberlakukan hukum pidana islam di pakistan. Hukum pidana ini menempatkan perempuan pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Kasus lain di Aljazair, hukum Islam sering sekali menempatan perempuan pada posisi yang salah sehingga mereka-mereka adalah kelompok yang paling mudah menerima hukuman. Karenanya, legislasi ini meningkatkan agitasi kelompok-kelompok wanita. Padahal Al-Qur’an itu sangat menjaga perempuan dari tindakan-tindakan yang merugikan.

Pada dasarnya ada dua hal yang perlu ditegaskan dalam kerangka pengkajian ulang syariah. Pertama, bahwa mayoritas ketentuan-ketentuan syariah merupakan hasil pemikiran manusia dn dikontruksi pada periode awal islam. Dan mereka yang mengkontruksi syariah, pada dasarnya berupaya untuk memahami Al-Qur’an, berupaya untuk memahami sunnah. Mereka berupaya untuk menafsirkan hukum sesuai dengan pemahaman mereka sendiri, sesuai dengan situasi yang melingkupinya. Dengan kata lain mereka, mereka berusaha memberikan petunjuk bagi kehidupan muslim. Dan saya pikir otoritas semacam itu tidak hanya hak monopoli generasi yang mengkontruksi syari’ah itu. Muslim dimasa kini pun memiliki otoritas yang sama, mereka harus lebih memahami lagi teks-teks keagamaan mereka, mereka harus memahami kembali sunnah. Mereka harus menafsir ulang teks-teks suci sesuai pemahaman mereka sendiri yang berbeda dengan pemahaman pada masa Abbasiyah, sesuai dengan konteks  mereka yang tentunya b erbeda dengan konteks masa Abbasiyah. Muslim masa kini juga memiliki hak untuk memformulasi ulang syariah.  Karena sesungguhnya setiap generasi Muslim memiliki hak otoritas yang sama untuk melakukan penafsiran teks-teks keagamaan dan memformulasi syariah. [next day]

Secara umum, buku ini ingin memberi gambaran, bahwa Islam yang ideal adalah 'Islam tanpa syariat'. Menurut Sardar, kaum Muslim gagal melakukan ijtihad karena tiga "malapetaka metafisis". Pertama: pengkultusan syariat sebagai sesuatu yang suci. Kedua: lenyapnya semangat ijtihad di kalangan Muslim. Ketiga: penyamaan Islam dengan negara. (Sardar, 2005: 15).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Iha Al-banna Manhaj - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -