- Back to Home »
- TOKOH ISLAM
Posted by : Unknown
Kamis, 25 Juli 2013
oleh: sutihat rahayu suadhi
Artikel ini saya ambil dari wikipedia, online [http://id.wikipedia.org/wiki/Syekh_Abdul_Qadir_Jaelani]
[http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid]Syekh Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani[ adalah orang Kurdi[3] atau orang Persia[4] ulama sufi yang sangat dihormati oleh ulama Sunni. Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.[5] Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M[6] selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadiProvinsi Mazandaran di Iran.
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan jugaAbu Sa'ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi....
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada
di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah
orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam
kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti
mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan
mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka
dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan
keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah.
Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada
seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu,
aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Abdullah Yusuf Azzam
Dr. Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989), juga dikenal
dengan nama Syekh Azzam, adalah seorang
figur utama dalam perkembangan pergerakan Islam. "Ratusan tulisan
dan pidatonya mampu menghidupkan ruh baru dalam diri ummat. Seolah-olah beliau
dipilih Allah SWT untuk menegakkan kembali kewajiban yang telah dilupakan
sebagian besar ummat Islam, yaitu jihad." Demikian komentar DR. Dahba Zahely, cendekiawan Muslim Malaysia tentang DR Abdullah
Azzam
Pendidikan dan Masa Muda
Syekh Azzam lahir pada tahun 1941 di desa
As-ba'ah Al-Hartiyeh, provinsi Jenin di sebelah barat Sungai Yordan. Setelah menamatkan
pendidikan dasar dan lanjutan di desanya, dia melanjutkan ke Khadorri College
di dekat kota Tulkarem dan mengambil jurusan
pertanian. Setelah wisuda Syekh Azzam bekerja sebagai seorang guru di desa
Adder, Yordania. Kemudian ia di Sharia College
pada Universitas
Damaskus di mana ia memperoleh
gelar B.A. pada tahun 1966.
Setelah tahun 1967 pada Perang Enam Hari dan Israel menduduki Tepi Barat, Syekh Azzam pindah ke Yordania
dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin Palestina.
Shaikh Azzam pergi ke Mesir untuk melanjutkan
studi Islam di Universitas Al-Azhar Kairo dan mendapat gelar master di bidang
syariah. Ia kembali mengajar pada Universitas Jordan di Amman dan pada tahun
1971, Syekh Azzam kembali ke Universitas
Al-Azhar dan memperoleh Ph.D
dalam bidang Ushul Fiqh pada tahun 1973.
Salah Seorang Tokoh Penggerak Jihad
Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia mendirikan Baitul
Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan. Ia
juga menerbitkan sebuah media Ummah Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor
kesadaran ummat tentang jihad. Katanya, jihad di Afghan adalah tuntutan Islam
dan menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia. Seruannya itu tidak
sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang diikuti oleh
seluruh ummat Islam di pelosok dunia. Pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia
yang terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, bergabung dengan para
mujahidin Afghan.
Jihad di Afghanistan telah menjadikan
Abdullah Azzam sebagai tokoh pergerakan jihad zaman ini. Ia menjadi idola para
mujahid muda. Peranannya mengubah pemikiran ummat Islam akan pentingnya jihad
di Afghanistan telah membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Uni Sovyet sebagai negara
Adidaya harus pulang dengan rasa malu, karena tidak berhasil menduduki
Afghanistan.
Abdullah Azzam telah berhasil meletakkan
pondasi jihad di hati kaum muslimin. Penghargaannya terhadap jihad sangat
besar. "Aku rasa seperti baru berusia 9 tahun, 7 setengah tahun jihad di
Afghan, 1 setengah tahun jihad di Palestina dan tahun-tahun yang selebihnya
tidak bernilai apa-apa," katanya pada seuatu ketika. Ia juga mengajak
keluarganya memahami dan memiliki semangat yang sama dengan dirinya. Isterinya
menjadi pengasuh anak-anak yatim dan pekerja sosial di Afghanistan.
Komitmen Abdullah Azzam terhadap Islam sangat
tinggi. Jihad sudah menjadi filosifi hidupnya. Sampai akhir hayatnya, ia tetap
menolak tawaran mengajar di beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad
sampat titik darah penghabisan. Mati sebagai mujahid itulah cita-citanya. Wajar
kalau kemudian pada masa hidupnya dialah tokoh rujukan ummat dalam hal jihad.
Fatwa-fatwanya tentang jihad selalu dinanti-nantikan kaum muslimin.
Wafatnya
Beberapa kali Abdullah Azzam menerima cobaan
pembunuhan. Sampai akhirnya ia dibunuh pada hari Jumat, 24 November 1989. Tiga
buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam,
meledak ketika ia memarkir kendaraan untuk salat Jumat di peshawar, Pakistan. Sheik Abdullah bersama dua orang
anak lelakinya, Muhammad dan Ibrahim, meninggal seketika. Kendaraan Abdullah
Azzam hancur berantakan. Anaknya, Ibrahim, terlempar 100 meter begitu juga
dengan lainnya. Tubuh mereka juga hancur. Dalam peristiwa itu juga terbunuh
anak lelaki al-marhum Sheikh Tamim Adnani (seorang perwira di Afghan).
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan
bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang
digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti
ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid",
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus"
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati
"abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas
Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek
dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan
Nasionalis dan menjadi Menteri
Agama tahun 1949. Ibunya,
Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily
Wahid. Ia menikah denganSinta Nuriyah dan dikaruniai empat
putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Pada tahun 1963,
Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al
Azhar di Kairo, Mesir.
Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasaArab, Gus Dur diberitahu oleh pihak
universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan
bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan
bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[9]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir
pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton
pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan
Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada
akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai
belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah
mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang
digunakan Universitas [10].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan
Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30
September (G30S) terjadi. Mayor
Jendral Suharto menangani situasi di
Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya
tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan
investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan
politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis
laporan [11].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak
setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu
dirinya.[12] Pada tahun 1966, ia
diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[12] Pendidikan prasarjana
Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[13] Wahid pindah ke Irak dan menikmati
lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar.
Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga
menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk
meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden,
tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[14] Dari Belanda, Wahid
pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke
Indonesia tahun 1971.
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay
Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.[66]
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak
Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak
Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal10 Maret 2004.[6]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal
Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat
penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang
peduli terhadap persoalan HAM.[67][68] Gus Dur memperoleh
penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los
Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah
satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam
memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[67] Wahid juga memperoleh
penghargaan dari Universitas Temple.
Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid
Chair of Islamic Study.[67] Pada 21 Juli 2010,
meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement
Award dalam Liputan 6
Awards 2010.[69] Penghargaan ini
diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif
Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur
mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006.[70] Penghargaan ini
diberikan oleh Aliansi
Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan
Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di
Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari
budayawan Butet Kertaradjasa,
pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy
Bayuni, dan Ketua Komisi
Nasional Perempuan Chandra
Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan
Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam
acara jumpa pers itu.[71] Seorang wartawan
mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan
Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati
Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan
hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[71]