Popular Post

Posted by : Unknown Rabu, 12 Juni 2013

 Winter In Tokyo
 Ilana Tan

Catatan : Ini salah satu novel nya ilana tan yang saya suka. Sebenarnya paling suka pas kazuto yang lupa ingatan tapi di dalam hatinya masih mengingat keiko. Terus sadar kalo keiko itu orang yang penting baginya. Dan saat keiko sadar kalo dia mencintai kazuto lebih tepatnya membutuhkan lelaki tetangga appartmen nya itu. Terus pas diam-diam kazuto sering ngambil gambarnya keiko di perpustakaan ...
Rasanya pengen jadi ishida keiko. Kazuto yang menciptakan hal-hal yang menarik seperti menghias atap kamar keiko dengan bintang-bintang karna ia tahu keiko takut gelap. Terus memperhatikan hal-hal kecil yang kurang pada diri keiko. So sweet banget pokonya.
Yang aku share disini part ke-6...
Happy reading ^^



Add chttps://www.google.com/search?q=winter+in+tokyo
SAMBIL duduk bersandar di sofa, Kazuto terpekur menatap layar laptop di hadapannya.
Ia sudah terlalu sering memandangi foto-foto yang muncul silih berganti memenuhi
seluruh layar laptop itu. Foto-foto yang dipotret dengan tangan dan kameranya sendiri.
Foto-foto dengan objek yang sama. Foto-foto wanita itu.
Ia tahu seharusnya ia tidak boleh lagi membenamkan diri dalam kenangan tentang
wanita di foto itu. Ia tahu ia tidak pantas, tetapi ia merasa belum sanggup menghapus
bayangan wanita itu dari pikiran, ataupun menghapus foto-fotonya dari laptop. Sampai
sekarang.
Lamunannya buyar ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Tangannya otomatis
menurunkan layar laptop, lalu bangkit dan berjalan ke pintu.
“Halo.”
Kazuto mengerjapkan mata melihat Ishida Keiko berdiri di hadapannya dengan
senyum lebar tersungging di wajah.
“Oh, halo.” Kazuto minggir sedikit ketika gadis itu berjalan masuk ke
apartemennya sambil menggigil. “Kau sudah pulang?” Biasanya Keiko belum pulang
pada jam-jam segini.
“Ya, aku diizinkan pulang cepat karena flu. Biarkan aku masuk dulu. Dingin sekali
di koridor ini.” Keiko melepaskan sepatunya dan berganti mengenakan sandal Hello
Kitty yang tersedia di jajaran sepatu dan sandal di samping pintu. Tadi pagi sebelum
berangkat kerja, Keiko mampir lagi untuk menaruh sepasang sandal yang sudah lama
tidak dipakainya di apartemen Kazuto. Biar praktis saja, ia punya sandal ganti di
apartemen tetangganya itu.
Kazuto menyadari suara Keiko yang sengau dan baru teringat gadis itu sedang flu.
Ia cepat-cepat menutup pintu dan mengikuti Keiko ke ruang tengah. Ia juga menyadari
langkah gadis itu agak timpang.
“Hari ini kita tidak jadi makan gado-gado,” kata Keiko sambil berputar ke arah
Kazuto. Tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, “Tadi aku ketemu Nenek Osawa di
bawah. Beliau masak shabushabu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomongngomong,
kau punya sake? Persediaan sake Kakek sudah habis. Aku disuruh minta
padamu, makanya langsung ke sini begitu pulang.”
“Punya,” sahut Kazuto setelah mencoba mengingat-ingat. Tiba-tiba ia mengalihkan
pembicaraan. “Kau sudah menuruti saranku dan pergi ke dokter?”
Keiko mengangkat sebelah alis. “Sebelum aku menyebarkan virus ke mana-mana?”
Ia tertawa kecil. “Tentu saja sudah. Ayo cepat cari sake-nya dan kita turun. Aku sudah
lapar nih.”
Kazuto tertegun. Ia menatap gadis di depannya dengan bingung. Tiba-tiba saja ia
menyadari sesuatu. Tiba-tiba saja ia tahu kenapa kini ia sanggup melepaskan kenangan
masa lalu itu.
* * *
Keiko menatap Kazuto berjalan ke lemari dapur dan mulai mencari-cari sake
simpanannya. Ternyata tetangganya itu tidak memerhatikan kakinya yang diperban.
Yah, tentu saja Kazuto tidak menyadarinya karena pergelangan kaki Keiko sendiri
tertutup celana panjang. Tapi memangnya Kazuto tidak menyadari langkahnya agak
timpang? Sebenarnya Keiko ingin laki-laki itu bertanya, sehingga ia bisa menceritakan
kejadian di rumah sakit tadi siang. Memikirkannya saja sudah membuat Keiko
tersenyum-senyum. Nah, siapa yang menyangka ia bisa bertemu kembali dengan cinta
pertamanya setelah tiga belas tahun?
Laptop yang setengah tertutup di meja menarik perhatiannya. Karena tidak tahu
apa yang mesti dilakukannya sambil menunggu Kazuto, Keiko iseng-iseng
menegakkan layar laptop dan melihat apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu sebelum
ia membunyikan bel pintu.
Foto seorang wanita berambut panjang sebahu terpampang jelas di layar. Wanita
yang tersenyum lebar ke arah kamera itu jelas orang Asia, tetapi di latar belakang foto
itu terlihat patung Liberty.
Siapa wanita itu?
Sebelum Keiko sempat berpikir lebih jauh, fotonya lenyap dari layar dan
digantikan foto lain. Masih wanita yang sama, namun di lokasi yang berbeda. Keiko
mulai heran ketika melihat foto-foto selanjutnya juga menampilkan wanita yang sama.
Apakah wanita ini model?
Lalu foto berikutnya muncul dan Keiko tertegun. Kali ini wanita itu tidak sendirian
di dalam foto. Nishimura Kazuto juga ada di sana. Sepertinya foto itu diambil di
restoran. Mereka berdua duduk berdampingan dan tersenyum. Hanya saja si wanita
tersenyum ke arah kamera seperti foto-foto sebelumnya, sedangkan Kazuto tersenyum
memandang wanita itu. Dan itu bukan senyum biasa. Di dalam foto itu Kazuto
tersenyum seakan-akan...
“Ketemu!”
Keiko tersentak mendengar suara Kazuto. Wajahnya terasa panas dan ia merasa
seakan ia tertangkap basah mengintip rahasia orang lain. Perasaannya tidak enak.
“Hanya ada satu botol,” kata Kazuto sambil berjalan mendekatinya. “Tidak apaapa,
bukan?”
“Tentu,” kata Keiko tergagap. Ia melirik laptop di meja dengan pandangan bersalah.
Kazuto mengikuti arah pandang Keiko dan melihat layar laptop-nya sudah
terangkat. Ia tersenyum. “Kau sudah melihatnya, ya?” tanyanya.
Keiko mengangkat bahu serbasalah. Sebaiknya ia tidak berpura-pura bego. “Siapa
wanita itu?” tanyanya.
Kazuto menghampiri laptop dan mematikannya. “Wanita yang pernah kusukai,”
jawabnya.
“Oh.”
“Tapi dia lebih menyukai sahabatku.”
“Oh...?”
“Mereka akan menikah,” kata Kazuto lagi.
Keiko membuka mulut ingin menanyakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia tidak tahu
apakah pertanyaan yang ingin ditanyakannya itu terlalu pribadi.
“Kau benar,” gumam Kazuto tiba-tiba sambil tersenyum samar, seakan bisa
membaca pikiran Keiko. “Karena itulah aku datang ke Tokyo. Konyol sekali, bukan?”
Keiko menggeleng. “Entahlah.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Lalu
bagaimana sekarang?”
Jeda sesaat sementara Kazuto berpikir-pikir. “Semenjak aku datang ke Tokyo, aku
jarang memikirkannya. Dan akhir-akhir ini aku hampir tidak pernah memikirkannya.”
“Bukankah itu bagus.”
“Ya, kurasa itu bagus,” gumam Kazuto dengan nada melamun.
Melihat laki-laki itu agak murung, Keiko buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah. Ayo, kita turun sekarang. Mereka pasti sudah menunggu kita.”
Ketika Keiko akan berjalan ke pintu, ia mendengar Kazuto bertanya, “Kakimu
kenapa?”
Akhirnya! Keiko tersenyum dan berputar kembali menghadap Kazuto, lalu
menunduk dan menarik ujung celana panjangnya ke atas, memperlihatkan pergelangan
kaki kirinya yang diperban.
“Terkilir sewaktu di rumah sakit,” sahutnya dengan nada gembira. “Tidak parah.”
Kazuto mengamati kaki Keiko yang diperban. Kali ini keningnya berkerut. “Tidak
sakit?”
“Tentu saja sakit.”
“Bagaimana kakimu bisa terkilir?” tanya Kazuto. Matanya kembali ke wajah Keiko.
Aku menabrak seseorang di rumah sakit,” jawab Keiko cepat dan penuh semangat.
“Hei, kau mau tahu siapa yang kutabrak?”
“Siapa?”
“Cinta pertamaku.”
“Oh?” Hanya itu reaksi Kazuto, tapi Keiko tidak peduli. Ia sedang bersemangat
dan ingin bercerita.
“Dia sudah banyak berubah... Yah, itu memang sudah pasti. Lagi pula aku sendiri
sudah lupa wajahnya tiga belas tahun yang lalu itu. Aku hanya ingat dia memakai topi
biru.” Keiko terdiam sejenak, seperti sedang melamun. “Aku tidak akan mengenalinya
kalau perawat itu tidak memanggil namanya.”
Kazuto membuka pintu dan Keiko mengikutinya keluar. “Kau yakin memang dia
orangnya?” tanya Kazuto sambil menutup pintu.
“Ya, sudah kutanyakan langsung padanya.”
“Dia juga masih ingat padamu?”
Keiko tertawa pelan. “Tidak, dia tidak ingat. Kami dulu memang bukan teman
sepermainan dan dia memang tidak mengenalku. Aku tahu tentang dia karena dulu dia
pernah membantuku dan aku terpesona. Dia sangat ramah.”
Kazuto tidak berkomentar.
“Lihat.” Keiko mengayunkan kaki kirinya ke depan. “Dia juga yang membalut
kakiku. Dia dokter! Keren, kan?”
Kazuto menatap kaki kiri yang diacungkan itu, lalu beralih menatap tangga di
depannya. Setelah berpikir sejenak, ia menyerahkan botol sake kepada Keiko, lalu
berjalan ke tangga dan duduk di anak tangga teratas, memunggungi Keiko.
“Apa?” tanya Keiko tidak mengerti.
Kazuto menoleh dan menepuk punggungnya sendiri. “Ayo, biar kugendong
sampai ke bawah. Kau pasti susah naik-turun tangga dengan kaki seperti itu.”
Keiko ragu-ragu. Alisnya terangkat. “Kau yakin?”
“Tentu.”
“Aku lumayan berat.”
“Kelihatannya memang begitu.”
Keiko berkacak pinggang. “Nah, apa maksudmu sebenarnya?”
“Oh, ayolah. Aku hanya bercanda,” sela Kazuto sambil tertawa kecil. “Aku mulai
kedinginan, jadi tolong cepat.”
Keiko menarik napas. “Sebaiknya kau tidak menyesal,” gumamnya sambil berdoa
dalam hati semoga laki-laki itu tidak ambruk karena berat badannya. Setelah
memantapkan hati, Keiko merangkulkan kedua lengannya di leher Kazuto dan
membiarkan laki-laki itu menggendongnya.
“Wah, ternyata kau...”
Keiko memukul bahunya. “Sudah kubilang!”
Kazuto tertawa dan berdiri tanpa kesulitan. “Aku hanya ingin bilang ternyata kau
tidak seberat yang kuduga.”
“Tidak seberat yang kauduga?” tanya Keiko sambil mengerutkan kening. “Jadi
maksudmu aku terlihat gemuk?” Suaranya agak melengking.
Kazuto menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan menuruni anak tangga
dengan hati-hati.
“Apa katamu?” tanya Keiko sambil bergerak-gerak ingin melihat wajah Kazuto.
Kazuto memperbaiki posisi Keiko di punggungnya sambil mendesah, “Kau sadar
aku sedang menggendongmu turun tangga? Kalau kau tidak mau kita jatuh terguling
sepanjang jalan, sebaiknya kau tidak bergerak-gerak.”
“Tadi kaubilang aku tidak berat,” protes Keiko.
“Kau memang tidak berat. Setidaknya tidak seberat yang kuduga.”
Keiko kembali mengernyitkan kening tidak mengerti. “Lalu kenapa kaubilang kita
bisa jatuh terguling kalau aku memang tidak berat?”
“Karena kalau kau bergerak-gerak, aku bisa kehilangan keseimbangan. Itu
masalahnya,” sahut Kazuto dengan nada seperti sedang menjelaskan kepada anak kecil
berumur lima tahun kenapa manusia tidak bisa terbang seperti burung.
“Tidak mungkin,” balas Keiko, masih tidak puas. “Kalau aku memang seringan
bulu, meskipun sekarang aku berjumpalitan, kau tidak mungkin jatuh.”
Kazuto tertawa. “Siapa bilang kau seringan bulu?”
Keiko mengguncang-guncang bahu Kazuto. “Jadi menurutmu aku gemuk?”
pekiknya. “Ayo, bicara yang jelas!”
Tawa Kazuto semakin keras. “Aduh, kau mencekikku.”
Keiko tidak bisa menahan diri untuk ikut tertawa, tapi ia tetap merangkul leher
Kazuto erat-erat dan mengancam, “Jadilah pria sejati dan bicara yang jelas. Aku gemuk
atau tidak?”
Dan pembicaraan tentang cinta pertama Keiko pun untuk sementara terlupakan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Iha Al-banna Manhaj - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -